Kamu
Yang Patah Hati, kamu yang lagi bersedih, kamu yang lagi merasa
sendiri, kamu yang merasa pingin mati, kamu yang…pokoknya kamu yang merasa
tersakiti, maksudnya kamu yang berstatus ukhti. Kenapa ukhti? Iya, karena ukhti
atau akhwat yang biasanya jadi korban patah hati. Karena akhwat yang biasanya
suka nangis bombay
kalo ta’aruf gak jadi, atau diputusin sepihak sama ikhwan.
Ukhti fillah,
Kenapa sih kamu patah hati? Karena ikhwan idamanmu mutusin kamu? Karena ikhwan
yg udah taruf bertahun2 trnyata memilih akhwat lain drpd kmu? Karena kamu
gak sesuai dengan kriteria yang dia mau? atau karena keluarga nggak setuju?
Atau bisa jadi semua pertanyaan tadi kamu setuju alias emang sedang menimpamu?
KETAHUILAH..Patah
hati itu terjadi karena harapan kamu lebih besar daripada kenyataan yang
menimpamu. Ingat , ajang ta’aruf ( dalam islam ) atau pacaran, atau apapun
istilahnya itu.. tidak harus selalu terus dan berakhir bahagia di pelaminan.
Kemungkinan antara gagal dan terus sekitar fifty-fifty. Namanya aja sedang
dalam proses, untuk saling mengenal diri satu sama lain. Kalo ada salah satu
pihak, atau malah kedua belah pihak merasa nggak cocok, maka persiapkan hatimu
untuk menerima segala kemungkinan. Termasuk ta’aruf putus di tengah jalan.
Tapi kan pedih. Iya, siapa
yang gak merasa sedih ketika harapan sudah di depan mata dan proses tinggal
selangkah saja? Tapi kalo bukan jodoh, biar kata juga kamu nangis tujuh hari
tujuh malam sampe kering air matamu, atau keluar air mata darah tetep aja gak
bakal nyambung. Jadi, nangis dan bersedih secara wajar boleh. Tapi jangan
keterusan. Rugi banget kalo itu terjadi pada dirimu.
Si ikhwan yang
mutusin kamu saat ini pasti udah lagi asyik proses taaruf sama akhwat lain.
Atau bisa jadi ia malah sudah gak ingat sama sekali sama kamu yang pernah
diajaknya ta’aruf. Memang nggak semua ikhwan kayak gini. Ada juga yang mungkin aja sama-sama lagi
bersedih kayak kamu saat ini. Tapi ikhwan biasanya cepet banget ngelupainnya.
Apalagi bila ini menyangkut perasaan. Dia pasti sudah menyibukkan diri dengan
pekerjaan or aktivitas lain sekedar untuk ngelupain kamu. Maka rugi banget kalo
kamu berlarut-larut dalam masa patah hati.
Nah, daripada kamu cuma manyun mending kita telaah dan analisa disini…Cuma butuh waktu 20 menit utk membaca notes ini sampe selesei.
7Penyebab
patah hati.
Ada banyak banget sebab-sebab kenapa sebuah
proses ta’aruf menjelang khitbah ( lamaran ), atau bahkan sudah khitbah itu
sendiri, putus di tengah jalan. Tulisan ini dibuat sekedar cermin buat
Saudariku semua agar lebih berhati-hati ke depannya. Agar tidak mengulang
kesalahan yang sama. Bukankah orang buta tak mau kehilangan tongkatnya untuk
kedua kali? Apalagi kamu kan
bukan termasuk kategori orang buta ini. Jangan mau kehilangan hatimu yang kedua
kali.
Trus bagi kamu
yang belum pernah patah hati, tulisan ini bisa jadi pelajaran tanpa maksud
menggurui. Bukankah orang bijak itu adalah dia yang bisa mengambil pelajaran
dan hikmah dari pengalaman orang lain? Sebutir mutiarapun, biarpun jatuh ke
lumpur akan tetap berkilau. Dan kata2 hikmah yg keluar dari mulut si miskin,
akan lebih bermakna drpd kata2 kasar dari si Kaya. Setuju..?
Tujuh
macam penyebab kamu patah hati:
1.
Keluarga.
Kamu dan si
ikhwan sudah sama-sama setuju untuk proses ta’aruf menuju ke pernikahan.
Setelah mantap, si dia datang menghadap keluargamu. Awalnya baik-baik saja.
Tapi ketika ditanyakan Maisyah alias sumber nafkah, ortu merasa masa depan
anaknya akan suram kalo jadi menikah dengan ikhwan tersebut. Dengan berbagai
alasan seperti: - anak saya masih pingin sekolah lagi - adik-adiknya masih
butuh banyak biaya. Biar anak saya cari duit dulu untuk bantu keluarga -
kakaknya belum nikah. Gak boleh sebagai adik mendahului kakak ( di adat jawa,
hal ini msih berlaku ). - Kalo jodoh gak akan lari ke mana - Dll
Nah, kalo ortu
udah pake kalimat alasan di atas padahal kamu sudah ngebet banget pengin
menyempurnakan separuh agama, alamat ada batu terjal menghadang langkah kalian
berdua untuk proses lebih lanjut. Kalo kamu gigih meyakinkan ortu trus kemudian
mereka luluh tidak masalah. Tapi kalo ternyata pendirian ortu jauh lebih gigih
daripada perjuanganmu, ini merupakan indikasi bagi kamu untuk patah hati.
Atau mungkin
bukan maisyah atau nafkah yang jadi alasan. Bisa juga karena domisili yang
jauh. Kamu di pulau Jawa, si calon ada di Kalimantan atau Sulawesi
misalnya. Ortu kamu gak tega berjauhan dari putri tercinta. Tapi si dia juga
gak mungkin pindah ke Jawa karena beberapa alasan tertentu. Atau, alasan lain
semisal beda suku. Kamu dari Jawa, calonmu orang Sunda. Atau sebaliknya.
Pokoknya ortu pingin anaknya dapat jodoh yang sama asal sukunya. Sehingga
ta’aruf gak nyambung dan gak bisa berlanjut menjadi khitbah.
Kamu kudu pasrah
dengan keputusan keluarga untuk gak jadi meneruskan proses dengan ikhwan tersebut.
Apalagi kalo kamu gak punya alasan kuat atau daya tawar dalam keluarga.
Misal : kamu selama ini kolokan banget dalam keluarga. Apa-apa mama,
sedikit-sedikit papa, kesana-kemari minta antar, gak mandiri, jadi ortu dan
keluarga gak tega kalo kamu dinikahi ikhwan tersebut. Khawatirnya anak
kesayangan mereka bakal kelaparan. Padahal kamunya udah setengah mati siap
lahir batin untuk hidup sengsara dengan ikhwan pujaan karena menurutmu ia baik
dan sholeh. Tapi apa daya, keluarga juga siap lahir batin untuk tetap
menghalangi niatmu jadian dengan pilihan hatimu.
2.
Kelompok ngaji .
Kamu merasa udah
“KLIK” sama seorang ikhwan dan berniat melanjutkan proses ke arah ta’aruf yang
lebih serius. Keluarga pun juga gak ada masalah. Tapi ternyata, ada hal lain
yang membuat proses kalian tersendat. Turut campurnya pembina pengajian tentang
siapa yang akan menjadi jodohmu. Mulai dari anggapan kamu belum cukup siap
untuk membina rumah tangga karena baru aja mengawali ngaji hingga ternyata
calonmu ternyata tidak satu kelompok pengajian. Wejangan-wejangan pun mulai
dilancarkan untuk ‘menyadarkan’ kamu.
‘Kamu masih
kecil. Umur juga masih 20 tahunan. Ngaji dulu yang rajin, jangan mikirin nikah
mulu.’ ‘Sudah sampe mana ta’arufnya?’ ‘Kamu yakin dengan ikhwan ini? Dia nggak
satu jama’ah dengan kita loh…’ ‘Jangan lama-lama prosesnya. Tiga bulan dari
sekarang harus sudah nikah…’ Karena nggak tahan dengan intervensi ini, proses
kalian tak bisa berlanjut. Kamu pun patah hati.
3. Pihak
si dia.
Kali ini si
ikhwan yang berinisiatif mengakhiri proses ta’aruf atau bahkan khitbah
denganmu. Kok bisa? Apa salahku??? Mungkin itu pertanyaan yang akan
menghantuimu ketika diputuskan sepihak. Bukankah selama ini visi dan
misi kita sama?
Bukankah tak ada masalah serius dalam proses ini? Ortu dan keluarga juga udah
setuju. Semua kluarga besar juga udah beri lampu ijo. Lalu apa?
‘Maaf,
sepertinya ta’aruf kita sampai di sini dulu saja.’ ‘Sebaiknya kita off dulu aja
ta’arufnya. Masih banyak hal yang perlu kita pertimbangkan sebelum
dilanjutkan..’ ‘Kita tak usah berhubungan dulu sementara ini. Saya punya banyak
hal yang harus dipikirkan.’ Dan banyak alasan lain.
Itu masih
mending ada kata-kata yang mengisyaratkan ‘kita putus.’ Karena ada juga
beberapa tipe yang inginnya ta’aruf STOP tapi tak ada cukup keberanian untuk
mengatakannya pada kamu. Yang begini nih malah bikin pusing dan bingung.
Dibilang sudah ‘ada yang punya’ tapi belum jatuh khitbah. Atau bagi yang sudah
jatuh khitbah tapi tak ada kejelasan kapan nikah. Tapi dibilang masih ‘free’,
kok sudah proses setengah jalan. Nah, ribet banget jadinya.!
Ikhwan tipe ini
sebetulnya pingin mutusin kamu tapi dia gak punya keberanian untuk ngomong
langsung. Alasan klisenya, khawatir menyakiti hati perempuan. Padahal dengan
sikapnya yang menggantung ini aja sudah cukup menyakitkan, Jadi kalo kamu
ngadepin tipe ini, kamu yg kudu tegas dan punya sikap.
Secara syar’i,
memang tak perlu ada alasan bagi pihak yang memutuskan lebih dulu untuk memberi
penjelasan mengapa dan kenapa ia memutuskanmu. Bisa jadi, ia merasa kurang
cocok selama proses ta’aruf meski kamunya ngotot sebaliknya. Bisa jadi meski
visi dan misi sesuai, tapi ternyata tak bisa sejalan menurut kacamata si
ikhwan. Atau…bisa jadi juga ternyata ada akhwat yang ternyata jauh lebih
segalanya dari kamu yang menerima panah asmaranya. Dia lebih cantik, lebih
kaya, anak pejabat dan konglomerat, dan supaya gak terkesan di cap matre, si
ikhwan pun pake alasan kalo nih akhwat dakwah dan pemahamannya jauh lebih
kenceng daripada kamu.
Kok bisa? Kan dia sedang proses
denganku. Bahkan ia sudah menemui ortu dan jatuh khitbah. Bagaimana mungkin ia
ternyata dengan enaknya minta putus gitu aja? Dan yang lebih menyakitkan,
sebelum putus dengan kamu, ia sudah proses ta’aruf dan khitbah dengan akhwat
lain! Kamu benar-benar nggak bisa terima kondisi ini.
Padahal kondisi
ini bisa saja terjadi. Dan sangat bisa. Jadi, ketika kamu akhirnya menjadi
pihak yang diputus karena setelah dibandingkan dan ditimbang memakai kacamata
ikhwan tipe ini, ternyata levelmu kalah jauh dengannya, maka jangan menyesal.
Bahkan sebaliknya, kamu seharusnya bersujud syukur karena Allah telah
menunjukkan “bentuk aslinya” sebelum kalian terlanjur menikah. Meski resikonya
kamu jadi patah hati. Dan satu lagi, jangan pernah kamu membenci dirinya,
ikhwan yang telah mencuri hatimu.
4. Pihak
kamu.
Maksudnya?
adalah kamu sebagai pihak yang memutuskan. Karena ketika kamu memutuskan dia
juga bukan tanpa pertimbangan. Meski konsekuensinya kamu musti menangis lagi.
Kamu akhirnya memutuskan dia meski dengan rasa berat hati, tapi memang hal
terbaik yang menurutmu perlu diambil. Why? Karena setelah melalui proses
ta’aruf ternyata visi misi kalian nggak cocok. Ambil contoh misalnya dia adalah
teman lamamu ketika di SMU dulu. Kamu mengenal dia sebagai seorang yang cerdas,
baik hati dan tidak sombong, serta menyenangkan.
Ketika ia
mengajak serius ke pernikahan dan kamu mengajukan syarat bahwa ia harus mau
berubah dengan mulai serius mengkaji Islam misalnya, ternyata ia menolak. Ia
merasa bahwa waktu dan energinya sudah terkuras untuk bekerja, jadi mana ada
waktu untuk ngaji apalagi berdakwah.
Masih mending
kalau ia mendukung syariat dan khilafah sebagai bagian dari perjuanganmu, tapi
kalo ternyata ia malah menganggap itu ide gila alias khayal? Kamu pun merasa
berat untuk berjuang seorang diri bila ia yang jadi suamimu nanti ternyata tak
bisa diajak seiring sejalan menggapai cita-cita.
Atau bisa juga
visi dan misi sejalan tapi ternyata kalian berdua tak bisa menjadi mitra yang
baik. Sama-sama egonya gede banget. Gak ada yang mau ngalah kalo ada masalah.
Misal kamu pingin dia sebagai pihak cowok menghubungi kamu dulu dalam
perencanaan ketemu ortu atau hal-hal persiapan pernikahan. Tapi ikhwannya
sendiri, ia merasa bahwa harusnya kamu yang menghubungi dia kalo emang ortumu
pingin ketemuan sama calon menantu. Satu sama lain merasa ‘yang butuh siapa’.
Waduh…kalo udah kayak gini, kamu pun jadi pusing berat. Mending cukup sekian
saja. Kamu pun mengambil keputusan besar dengan resiko patah hati.
5. Ajal.
Masa-masa
ta’aruf sudah terlewati. Khitbah juga sudah dilakukan sang pujaan hati. Hanya
tinggal menentukan hari H menuju pernikahan. Semua hal pun sudah dipersiapkan
dengan matang. Menjelang seminggu pernikahan, ternyata takdir berkata lain.
Sang kekasih meninggalkan dunia fana untuk bertemu dengan sang pencipta. siapa
yang bisa menduga kapan ajal datang?
Kamu pun patah
hati. Rasa-rasanya sebagian hatimu telah dibawanya pergi ke alam baqa. Kamu pun
bertekad tak akan jatuh cinta lagi. sampe sebegitunyakah? Padahal, mempunyai
suami atau pun calon suami seorang pejuang, apalagi ini pejuang bukan sembarang
pejuang, tapi pejuang syariat dan khilafah, salah satu resiko adalah ajal.
Terlebih bila perjuangannya benar-benar di garis yang telah ditentukan, no
compromise terhadap ide dan sistem kufur. Bukannya malah mencari jalan aman
dengan alasan demi perjuangan.
Kembali ke ajal.
Semua manusia pasti akan pernah merasakannya. Bahkan semua makhluk yang
bernyawa pasti akan selalu diintai oleh si ajal ini. Jadi kenapa patah hati?
Bukankah itu menunjukkan bahwa Allah mencintai sang calon-mu daripada rasa
cinta yang kamu punya? Kenapa tak berusaha mengikhlaskan kepergiannya dan
mengiringinya dengan doa?
Aku ikhlas kok.
Mungkin itu penyangkalanmu. Kalo ikhlas, lalu kenapa menutup hati bagi yang
lain? Bukankah life must go on? Hidup masih terus berjalan, meski dengan atau
tanpa kekasih hati. Kalo kamu terus menerus menutup diri, ungkapan ikhlas kamu
cuma di mulut. Padahal sikap kamu malah menunjukkan sebaliknya. Ini nggak
konsisten namanya. Siapa sih yang pingin dijemput maut di saat menjelang hari H
pernikahan? GAK ADA
! Si dia pun gak akan rela seandainya melihat kamu yang terus-menerus bersedih
menangisi kepergiannya. Sedih boleh. Menangis juga boleh. Tapi kalo
terus-terusan? Udah nggak bagus untuk kesehatan fisik dan mentalmu, juga nggak
bagus bagi kelangsungan aktifitas dan dakwahmu.
6.
Sama-sama gengsi.
Gengsi? ini
adalah jenis makanan mental terburuk untuk ditelan. Kamu punya rasa merah jambu
ke salah satu ikhwan alias kamu pingin banget untuk mendampingi perjuangannya
alias lagi, kamu pingin banget jadi istrinya. Tapi apa daya, kamu merasa kalo
jadi akhwat tuh gak boleh mengungkapkan perasaan duluan. Tabu dan pamali
katanya, kalo hukum social masyarakat diserahkan pada perasaan manusia, memang
repot. Bagaimana kalo akhwat nembak ikhwan duluan. Ada nggak sih contoh teladan kita? Ada..yaitu ibunda Khatijah
yg menginginkan Nabi Saw utk menjdi suaminya..!
Kembali ke
gengsi. Kamu gak ada inisiatif untuk mengungkapkan isi hati ke ikhwan pujaan.
Ternyata si ikhwan juga mengalami hal yang sama. Bukannya gak berani, tapi si
ikhwan mengidap sakit minder yg berlebihan. Si ikhwan pingin nikah tapi apa
daya Maisyah ( harta ) yang ia punya pas-pasan. Padahal dalam hatinya ia udah
ngebet pingin banget dapetin Aisyah alias punya istri. Belum apa-apa ia udah
minder duluan, khawatir gak ada akhwat yang mau. Belum lagi kalo kamu bertipe
‘high’ alias Tajir. Kamu udah cantik, cerdas, ortumu pejabat dan pengusaha
sekaligus, kamu pun berdarah biru di sukumu, dakwahmu oke, jam terbangmu tinggi,
wah…pokoknya tipe ‘Yang semua lelaki inginkan’. Si dia yang telah memikat
hatimu jadi gak PD untuk pedekate atau taaruf. Meski ikhwan-ikhwan yang lain
antri kayak nagih utang, kamu tetap gak bisa ke lain hati. Nah, kalo kamu tetap
bertahan pada gengsimu dan si ikhwan pujaan juga bertahan pada gengsi dan
mindernya, sampe kapan pun kalian sulit bersatu..!
SOLUSINYA:
Si akhwat yg harus berkata duluan ! Bukanlah hal yg hina dan murahan
ketika seorg akhwat mengajukan diri utk dilamar ikhwan jika memang si ikhwan
sudah diridhoi dari segi agamanya. Bahkan itu suatu hal yg mulia. Itulah yg
terjadi pada ibunda Khadijah.
7.
Dipersulit segala sesuatunya.
Semua pihak udah
oke dari segala segi. Kamu dan keluarga udah mantap, calon dan keluarga juga
sudah siap. Materi yang biasanya jadi kendala, juga tak ada masalah kali ini.
Tinggal menentukan hari H. Tapi ternyata tak dinyana tak diduga, ternyata
kerabat dekat calon ada yang meninggal. Nenek yang begitu dicintai seluruh
anggota keluarga ternyata dipanggil Allah. Jadwal kalian mundur. Gak mungkin kan pernikahan
dilanjutkan di saat ada kerabat yang meninggal. Ketika suasana sudah mulai
kembali normal, ternyata ayahnya sakit dan masuk rumah sakit. Kolesterol dan
darah tingginya kambuh. Ketika si ayah sembuh, ternyata calon mendapat tugas
kerja ke luar pulau. Padahal ortu terutama ibu kamu gak ngijinin anaknya dibawa
jauh dari tanah kelahirannya. Kondisi seperti ini silih berganti, ada saja aral
melintang ketika kalian berusaha meneruskan pernikahan. Seakan-akan ada ‘Tangan’
lain yang tak terlihat dan jauh lebih kuat kekuatannya yg membuat semua ini
terjadi. Menyalahkan takdir? JANGAN SAMPAI Saudariku! Takdir tak pernah salah.
Ingat..Tuhan tidak pernah salah menuliskan takdirNya. Tuhan tidak pernah dzalim
terhdap hambaNya. Malah sebaiknya, everything happen for the best alias semua
pasti ada hikmahnya. Ini cuma salah satu tanda kekuasaanNya bahwa ada rencana
yang jauh lebih baik daripada yang kalian punya.
Nah,
setelah kamu baca ketujuh penyebab itu, kamu bisa menelaah dan menganalisa diri
kamu sendiri, golongan yang manakah saya? Atau, kamu pernah mengalami
ketujuh-tujuhnya? Saya ingat sebuah artikel yang saya baca di internet tentang
seorang akhwat yang melalui masa ta’aruf hingga belasan kali. Semua itu
berakhir di tengah jalan tanpa ada ujung yang bernama pernikahan. Tahu nggak
apa reaksi akhwat tersebut? Kesan yang saya tangkap ia begitu tabah dan
tawakal. Ia tak pernah lelah dan bosan dari satu ta’aruf ke ta’aruf
berikutnya. Dan yang utama, ia nggak kenal yang namanya menangis apalagi patah
hati. Subhanallah..beginilah harusnya sikap seorang akhwat sejati.. Dia
menyandarkan nasib jodohnya kepada Allah Yang Maha Menggenggam hati, tidak
pernah sekalipun dia suudzon kepada Rabbnya, karena kacamata IMAN adalah
benteng yg dia pakai, bukan PERASAAN !
http://renungandanmotivasiiftyacute.blogspot.com/2012/11/pelangi-patah-hati-bag11-tamat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar