Islam Mosque

Jumat, 13 Desember 2019

Dia Mengenalkanku Al-Ma’tsurat

Di semester awal masuk kuliah, aku kembali bertemu dengan mereka yang dulu pernah menjadi teman semasa sekolah menengah. Ya meskipun berbeda kelas waktu itu dan tidak saling mengenal atau mengetahui satu sama lain, tapi di kampus berasal dari sekolah yang sama juga merupakan kesenangan tersendiri, hanya saja sekarang mereka berada di dua tingkat atasku. Salah satu dari mereka sebut saja Mawar, bukan nama sebenarnya. Mmmmm… tapi karena memang namanya aku rahasiakan, bagaimana kalo sebut saja dengan R (Rahasia) 😅

Sepertinya dia dewasa, dan aktifis baik di kampus maupun di tempat kajiannya, belum lagi kalo pagi dia ngajar. Awal-awal kita dekat karena tawaran tumpangannya saat tahu kalau aku tidak memiliki kendaraan. Berhubung berkendara sendiri dia menawarkan diri untuk memberi tumpangan. Awalnya kutolak, sebab merasa tak enak kalo dia mesti menjemput saya dulu, karena sedikit memaksa akhirnya aku setuju.

Flash back sedikit, mungkin dari kalian yang baca ini pernah lah aku cerita , kalo dari SMP sampai SMA aku punya keinginan untuk memiliki seorang sahabat yang benar-benar care gitu, yang kalo aku salah
dibenerin, yang kalo lupa diingetin, yang kalo belok dilurusin, begitulah pokoknya. Hehe, melankolis ya, mungkin efek dari kebanyakan baca novel. Dulu hoby baca mulai dari komik sampai novel, isinya
macem-macem, ada yang bercerita tentang keluarga, cinta muda mudi, sampai kisah tentang persahabatan.

Nah, sama ukhti yang satu ini aku ngerasanya seperti sudah menemukan apa yang kucari. 😊 Kerudungnya lebar, seringnya memakai yang segi empat, dia pribadi yang sangat dewasa, setiap kata
yang mengalir bijak dan penuh kehati-hatian, itu yang kuingat. Kebersamaan kita tidak jauh dari motor, sebab itulah alasan kami menjadi dekat, meskipun itu singkat.
 Setiap hari aku menunggu di jam pulang kuliah, dan selalu menanyakan temannya jika kelasnya sudah selesai namun dia tak kunjung datang. Pernah suatu sore aku menanyakan keberadaannya sama salah
satu teman kelas dan kerjanya, sebut saja A. “R mana ya?” tanyaku singkat. “R mulu yang ditanyain, tanya aku napa?” jawabnnya dengan nada rada tinggi, hehe bukan marah, mungkin agak kesal, entah
apa alasannya saat itu. Tapi setelah lumayan agak jauh mengenal R dan temannya A ini, aku tahu alasannya. Sebenarnya mereka juga dekat, cuma ada beberapa hal  yang membuat mereka salah faham.

Oke, kembali ke R. Pernah suatu ketika aku kehilangan sebuah helm, saat itu dia sedang rapat (mungkin) di masjid tempat kuliah kami, dan aku menunggunya di luar. Karena dia memberi isyarat bahwa sepertinya sedikit lama, maka aku memutuskan untuk turun terlebih dulu. Sesampai di area parkir, aku tidak mendapati helmku di motornya, aku bertanya sama satpam, tapi beliau bilang tidak tahu. Ya Allah… sedih banget rasanya. Itu helm kesayangan, helm perjuangan. Sebab aku membelinya dengan upah bekam yang aku sisihkan. Aku memberikan pesan singkat, dia menjawab menenangkan. Dan tak lama dia turun, Nampak sedikit cemas juga dari raut wajahnya. Aku lupa apa yang dia katakan waktu itu, yang jelas itu kalimat yang  dia coba katakan untuk menghiburku.  Setelah cukup lama menunggu dan tidak juga nampak tanda-tanda ada orang yang mengembalikan helmku, akhirnya kami pun pulang.

Malamnya, saya mendapat pesan singkat, isinya kurang lebih kalimat-kalimat yang berusaha menguatkan dan menghibur, tapi dikemas dengan pilihan kata yang cantik, jadi membuat saya “melted”. Bukan kehilangan lagi yang aku rasa, tapi kehadiran seorang teman, sahabat yang mungkin akan selalu ada saat aku merasa jatuh, atau terpuruk. Esoknya seperti biasa kita berangkat dan pulang bareng, dan aku sudah kembali tersenyum. Pelajaran bahwa apa-apa yang sudah kita upayakan belum 
tentu menjadi milik kita.

Suatu hari aku menemani kawan semasa kecilku pergi ke sebuah toko pernak-pernik. Dan melihat sebuah gantungan kunci cantik, berbentuk hati dan terbagi menjadi 2 bagian, sebagian berwarna merah 
dan sebagian berwarna biru, serta terdapat tulisan “Best” di bagian satunya dan “Friend” di bagian lainnya. Karena tertarik maka kubelikan gantungan ini untuk kuberikan sebagian untuknya. Malamnya 
seperti biasa kita bercanda atau bercerita lewat sms, saat itu dia kutanya. “Ukhti, jika disuruh memilih antara warna merah dan biru, warna apa yang kamu pilih” dia menjawa “biru” saya membalas lagi “Lah 
kan biru aku, aku kan pernah cerita to kalo suka sama warna biru, pilih merah saja ya?” “emmm… ya sudah, kalo begitu warna hijau saja, itu warna kesukaan Rasulullah” balasnya. Karena ketertarikanku pada warna biru, suatu hari dia  memberikanku hadiah berupa kerudung berwarna biru laut, itulah alasan kenapa sampai saat ini aku masih suka dengan kerudung yang berwarna biru laut, sebab mengingatkanku tentang dia.

Keesokannya di kampus, seperti biasa aku menunggu di area parker saat jam pulang kuliah. “”Lama?” sambil berjalan menghampiriku dia member pertanyaan itu. “Lumayan, buru-buru gak? Kalo enggak duduk-duduk di sini saja dulu” tanyaku. “Oh, egak, santai kok” dia menimpali. Setelah bicara beberapa hal, “Emmm, semalam katanya anti pilih warna biru kan? Nih, buat anti” sambil menyodorkan sesuatu yang kubeli kemarin. Nampak speechless dia, “Ya Allah… anti… kok iso i lo?” itu kalimat yang keluar darinya dan tentu saja dengan senyuman lebar, menandakan bahwa dia sangat suka menerima hadiah persahabatan itu. Pernah ketika pulang kuliah, langit sangat gelap, tapi dia memutuskan untuk tetap 
pulang. Akhirnya hampir kita kehujanan, dia membanting setir ke kanan masuk ke sebuah sekolah yang kita lewati setiap hari perjalanan kuliah. Kami berteduh di mushola yang ada di sekolah itu. Hujan kali ini sangat lebat, dengan angin yang kencang dan membawa air memasuki area mushola. Kami tertahan sementara di sini, seneng sih karena ada alasan untuk bareng lebih lama (dikasih backsong Hujannya 
Utopia cakep kali ya? 😅), tapi rada takut juga dengan anginnya .

Suatu hari dia bercerita kalo harus tinggal di rumahnya sendiri, sebab selama ini dia tinggal dengan ikut orang, motor yang dipakai juga punya orang itu, dia cerita kalo tidak enak harus terus merepotkan orang lain, meski pun orang yang punya tempat untuk dia tinggali bilang tidak masalah. BTW, setelah dia cerita 
sedikit profil tentang orang itu, ternyata dulu juga aku pernah bekam “ibu” itu. Kita sudah bertemu di sana, hanya belum saling kenal. Dia menyuguhkan makanan dan minuman buatku, dengan ramah dia 
tersenyum dan menawarkanku untuk makan. Tatapannya teduh, orang yang menatapnya mungkin akan merasa nyaman. Ingin rasanya berkenalan dan menjadi teman, tapi waktu itu sangat singkat. Jadi hanya sebatas melempar senyum. Ah…dunia memang sempit. Ternyata sekarang kita sudah menjadi teman.

Setelah dia memtuskan, maka banyak hal berubah. Kini aku harus ganti partner, nebeng sama teman lain. Kita jadi jarang bertemu, dan cuma bisa melihat dari kejauhan dibalik kaca kelas yang berada di lantai dua setiap kali dia pulang, kuliahnya memang selesai lebih awal, otomatis pulangnya juga lebih awal. Pengen banget bisa bareng, kemana gitu, cerita lagi, bercanda lagi, tapi keadaan memang sudah 
susah membuat kita bareng lagi. Pernah juga pas aku mengatar keponakan ke sekolah, menawarkan untuk menjemputnya dan mengantar ke tempat kerja, namun selalu dia tolak. Padahal aku cuma pengen bareng saja meski sebentar. Hemmmm… so sad… Gak apa-apalah, mungkin memang dia tidak ingin merepotkan orang lain. 

Saat ada kesempatan aku mengajaknya untuk main ke rumah. Tepat di waktu yang dijanjikan akhirnya dia main juga ke rumah. Seperti biasa kita berbicara banyak hal, tapi entah kenapa pembicaraan itu 
justru membuatku sedikit berdebat dengannya. Waktu itu aku sedang semangat-semanganya berbicara tentang harokah-harokah, karena perbedaan sudut pandang membuat kita berseberangan. Agak menyinggungnya mungkin, entahlah, tapi itu adalah salah satu hal bodoh yang pernah kubuat. Maaf ukhti, saat itu aku masih jahil, masih sangat dangkal, sampai sekarang itu masih menjadi sedikit beban 
untukku. Karena kamu pulang dengan perasaan kesal mungkin, atau marah bahkan. Afwan jiddan. Aku tidak berani mengatakannya secara langsung hingga kini, khawatir air mata ini tidak bisa kutahan, dan khawatir membuka kembali luka lama yang mungkin kamu sudah lupa. Sekali lagi afwan jiddan, untuk kamu yang mengenalkanku terhadap Al-Ma’Tsurat. Jazakillah khair untuk semuanya, dan syukron katsiron sudah pernah menjadi sahabat. 😊


Her Name is Evan

Hari pertama masuk kerja di salah satu toserba di Ngawi. “Mbak, baru ya” Tanya mbak Yuni yang saat itu juga berkenalan. “Iya mbk” jawabku. “Sudah tanya Pak’e belum di tempatkan dim ana?” (Pak’e : panggilan kepada Bos laki-laki). “Belum mbk” “Ya sudah sebentar ya, saya tanyakan dulu” “iya mbk” jawabku singkat. Tidak lama setelah itu dia datang “Mbk, sampean di depan ya sama Evan”. “Evan? Cowok ya
mbk?” dengan senyum khasnya mbk Yuni menjawab “Egak kok mbk, dia cewek, di depan di stand baby”. Ah…lega perasaanku “Oh gitu, kirain cowok mbk, hehe iya mbk”. Tanpa perintah aku langsung berjalan ke tempat yang dimaksud mbk Yuni.

Aku menuju ke depan, terlihat cewek dengan perawakan tinggi, langsing, kulitnya bersih, putih, rambut agak ikal dan diikat di bagian belakang agak atas, dengan setelan celana jeans dan kaos bertulis “ROXY”, matanya sipit, sempat berfikir kalo dia anaknya pemilik toko, macam orang
Cina Oriental. Hehehe. Tapi dia lagi ngepel, menandakan kalo dia juga seorang karyawati di toko ini “Pemisi, maaf, mbk Evan ya?” tanyaku. Dengan senyum manis dan wajah ramahnya dia menjawab “Iya, saya Evan, baru ya?”sambil mengulurkan tangan tanda ingin berkenalan “Iya
mbk, baru, saya Sri Lestari mbk, mohon bantuannya ya mbk. Saya bisa bantu mbk?”
“Oh..bersihin etalase itu saja dulu”

Mulai hari itu kami menjadi partner kerja, dia selain menjaga stand juga menjadi kasir 2, hari-hari kami lalui dengan banyak cerita, canda, tangis, tapi dia yang sering nagis. Hehehe (Peace mbk) Sharing n caring is something. Boleh dikatakan saat itu kita menjadi sahabat tanpa sadar, mungkin karena seringnya kita saling berbagi cerita dan keluh kesah. Dia itu jago bikin mahar hantaran, makanya pernah tak sarankan bikin toko khusus bikin mahar, tapi waktu itu katanya masih banyak kendala, terutama modal. Dia pekerja keras, kalo lagi bikin mahar saya cuma bisa lihatin doang, abisnya saya payah banget kalo disuruh ngerjain kerjaan yang butuh keuletan. Hehe…di sini kadang saya merasa bersalah/gak enak, sebagai partner gak bias bantuin apa-apa (beneran, ini dari hatiku saat itu mbk 😔). Yang paling berkesan adalah  saat dia memutuskan untuk berhijab. Masyaallah…. Haru dan bahagia mendengar hal itu.

Meski tak lama kita menjadi rekan kerja, hanya sekitar 6 bulan, sebab saat itu saya memutuskan untuk study lagi. Tapi terimakasih sudah menjadi partner n sahabat. Sekali pun setelah itu kita jarang bertemu dan komunikasi, tapi Alhamdulillah saat ini kita masih menjadi teman, dan masih menjalin komunikasi meski pun tidak seintens dulu, di masa-masa kita menjadi rekan. 😊

(Evan Merydiane, sekarang owner Dapoer Sangit n Manis Mahar di Ngawi)