Islam Mosque

Selasa, 02 April 2013

Makalah Diagnosa Kesulitan Belajar

DIAGNOSA KESULITAN BELAJAR
Tidak Adanya Antusias Anak dalam Belajar
Di SDN SELOPURO II
SEKOLAH TINGGI ILMUTARBIYAH ISLAMIYAH NGAWI
2012

 BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dunia pendidikan dalam kenyataannya penuh dengan kompleksitas yang sangat kompleks, dalam memberikan pendidikan kepada anak didik tidak semuanya susuai dengan rencana dan kemauan guru, ada saja masalah yang dihadapi dari setiap individu peserta didik.
Pada prinsipnya setiap siswa berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa yang lainnya.
Sementara itu penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah pada umumnya ditujukan kepada siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkategori “di luar rata-rata” itu tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut dengan kesulitan belajar (learning difficulty).
Kesulitan belajar dapat pula dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
B.     Tujuan Diagnosa Kesulitan Belajar
Diagnosa kesulitan belajar dilaksanakan untuk mengetahui permasalahan yang dialami siswa, sehingga dapat membantu siswa dalam mengoptimalkan potensinya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    PERKEMBANGAN.
Menurut  Slavin (1997) pula berpendapat perkembangan adalah berkaitan dengan mengapa dan bagaimana individu berkembang dan membesar, menyesuaikan diri kepada persekitaran dan berubah melalui peredaran masa. Beliau berpendapat, individu akan mengalami perkembangan sepanjang hayat, yaitu perkembangan dari segi fizikal, personaliti, sosioemosional dan kognitif serta bahasa. Sedangkan Menurut Crow dan Crow (1980), perkembangan merupakan perubahan secara ‘kualitatif’ serta cenderung ke arah yang lebih baik dari segi pemikiran, rohani, moral dan sosial (Hand Out: Psikologi Perkembangan 2012).
Secara kronologis (menurut urutan waktu), masa kanak-kanak (early childhood) adalah masa perkembangan dari usia 1 atau 2 tahun hingga 5 atau 6 tahun. Perkembangan biologis pada masa-masa ini berjalan pesat, tetapi secara sosiologis ia masih sangat terikat oleh lingkungan dan keluarganya. Oleh karena itu , fungsionalisasi lingkungan keluarga pada fase ini penting sekali untuk mempersiapkan anak terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas terutama lingkungan sekolah.
1.      Perkembangan Fisik.
      Perkembangan fisik menggambarkan perubahan dalam penampilan fisik anak-anak, sama seperti dalam keterampilan motor mereka. Anak pada usia 8-9 tahun, terjadi koordinasi tubuh, ketahanan tubuh bertambah, anak laki-laki cenderung aktifitas yang ada kontak fisik seperti berkelahi dan bergulat. Koordinasi mata dan tangan lebih baik, sisitem peredaran darah masih belum kuat, koordinasi oto dan syaraf masih kurang baik, dari psikologi anak wanita maju 1 tahun dari anak laki-laki.
Anak-anak bertambah 2,3 hingga 3,2 kg dan 2 atau 3 inchi pertahun, kemampuan kekuatan mereka berlipat ganda karena besarnya jumlah sel-sel otot mereka. Perkembangan menjadi lebih halus dan terkoordinasi. Anak-anak memperoleh kendali yang besar atas tubuhnya, duduk dan mengikuti pembicaraan beberapa saat. Tetapi hidup mereka harus berorientasi kegiatan dan sangat aktif. Membaiknya keterampilan motorik halus utamanya perempuan dan keterampilan motorik kasar pada laki-laki. (Santrock,2002).
2.      Perkembangan Kognitif
Pakar psikologi Swiss terkenal yaitu Jean Piaget (1896-1980) dalam buku Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, oleh John W. Santrok pada tahun 2002, mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Piaget yakin bahwa anak-anak menyesuaikan pemikiran mereka untuk menguasai gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahan akan menambah pemahaman mereka terhadap dunia.
Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian. Untuk membuat dunia kita diterima oleh pikiran, kita melakukan pengorganisasian pengalaman-pengalaman yang telah terjadi. Piaget yakin bahwa kita menyesuaikan diri dalam dua cara yaitu asimiliasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru.
Piaget mengatakan bahwa kita melampui perkembangan melalui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:
Tahap sensorimotor (Sensorimotor stage), yang terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap ini, perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.
Tahap praoperasional (preoperational stage), yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap kedua piaget, pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif oranglain dengan kata lain anak melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya.
Animisme adalah keyakinan bahwa obyek yang tidak bergerak memiliki kualiatas semacam kehidupan dan dapat bertindak. Seperti sorang anak yang mengatakan, “Pohon itu bergoyang-goyang mendorong daunnya dan daunnya jatuh.” Sedangkan Intuitif adalah anak-anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas semua bentuk pertanyaan. Mereka mengatakan mengetahui sesuatu tetapi mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional.
Tahap operasional konkrit (concrete operational stage), yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga piaget. Pada tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam cotoh-contoh yang spesifik atau konkrit. Contohnya pemikir operasional konkrit tidak dapat membayangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan soal persamaan aljabar, yang terlalu agstrak bagi pemikiran pada tahap ini.
Tahap operasional formal (formal operational stage), Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwa berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.
3.      Perkembangan Moral
      Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia 4-10 tahun anak cenderung pada tahap tingkat satu yaitu prakonvensional.Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional, dimana mereka belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.
Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.

4.      Perkembangan social
Kerja keras versus rasa inferior adalah tahap perkembangan erikson yang ke empat, terjadi sekitar tahun sekolah dasar. Inisiatif anak membawa mereka berhubungan dengan banyak pengalaman baru. Saat mereka berpindah ke masa kanak-kanak tengah dan akhir, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan dan keterampilan intelektual. Diwaktu yang sama pula anak menjadi lebih antusias mengenai belajar dibandingkan dengan akhir periode kanak-kanak awal yang penuh imajinasi. Kemungkinan lain dalam tahun sekolah dasar adalah bahwa anak dapat memunculkan rasa inferior-merasa tidak kompeten dan tidak produktif. Erikson percaya bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan keaktifan anak. Guru harus dengan lembut tetapi tegas mengajak anak ke dalam petualangan menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
(santrock, 2007, hlm 47)

5.      Perkembangan Sosioemosional
Perkembangan social pada masa kanak-kanak tumbuuh dari hubungan yang erat mereka dengan orang tua atau pengaruh-pengaruh lain, termasuk anggota keluarga. Interaksi social diperluas dari rumah ke tetangga, dan dari taman kanak-kanak ke sekolah dasar.
Orang tua selalu memiliki pengaruh yang paling kuat pada anak-anak. Setiap orangtua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungan sengan anak-anaknya, dan ini berpengaruh terhadap perkembangan social anak-anak. Diane Baumrind (1983) meneliti gaya atau corak orangtuaa dalam mendidik anak-anaknya. Dia mengidentifikasi tiga tipe gaya orang tua yang bervarisaai, meliputi control orangtua terhadap anak, kejelasan komunikasi orangtua dengan anak, dan tuntutan orangtua kepada anak untuk menjasi matang.


PERMASALAHAN BELAJAR
1.      Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. (Wikipedia.org)
Belajar merupakan perkayaan materi pengetahuan ( material dan atau perkayaan pola-pola sambutan (respon) perilaku baru (behavior). Pendapat ini dikemukakan oleh penganut paham ilmmu jiwa asosiasi yang dipelopori oleh John Locke (Inggris) dan Herbart (Swiss(. Seperti kita maklumi, paham itu berasumsi bahwa pada saat kelahirannya jiwa manusia laksana tabula rasa (bersih  tanpa noda) atau laksana beja agar dapat berfungsi. na kosong yang masih harus diisi agar dapat berfungsi. Oleh karena itu dalam kontek ini belajar dapat diartikan sebagai suatu proses pengisian jiwa dengan pengetahuan dan pengalaman yang sebanyak-banyaknya dengan melalui hapalan. Pelajar tidak selalu seperti apa yang dihapalkannya. Yang penting diperolehnya tanggapan dan pengalaman sebanyak mungkin. Yang nantinya akan berfungsi sendirinya dengan melalui hukum-hukum asosiasi.
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar.
Fenomena belajar siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya (hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam suatu bidang studi tertentu dengan menggunakan tes belajar). Namun, kesulitan belajar juga dapat dilihat dari munculnya kelainan perilaku (misbehavior).
Faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar yang mempengaruhi hasil belajar siswa terdiri atas dua macam, yakni :
a.       Faktor Intern
Faktor intern maksudnya adalah faktor dari dalam diri siswa yang mempengaruhi hasil belajarnya, seperti faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan. Faktor jasmaniah meliputi: kesehatan, cacat tubuh/badan seperti tuli, buta, lumpuh, dan sebagainya. Faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, sikap, kematangan dan kesiapan. Faktor kelelahan, dapat dibedakan atas:
1)        Kelelahan jasmani, ditandai dengan lemah lunglainya tubuh mengakibatkan timbulnya kecenderungan untuk membaringkan tubuh
2)        Kelelahan rohani, ditandai dengan adanya kelesuan, kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk berajar menjadi kurang atau hilang.
b.      Faktor Ekstern
Faktor Eksternal dimaksudkan adalah faktor dari luar diri siswa yang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, yang dapat menimbulkan kesulitan belajar, dapat dikelompokan atas tiga faktor yaitu:
1)        Faktor dari lingkungan keluarga, dapat berupa;
a)  Cara orang tua mendidik;
b)  Relasi/ ahubungan antara anggota keluarga;
c)  Suasana dalam rumah tangga;
d)  Kebudayaan atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam rumah tangga;
e)  Perhatian orang tua/ wali; dan
f)  Keadaan sosial-ekonomi orang tua termasuk tingkat pendidikan orang tua/wali.
2)    Faktor dari sekolah, dapat berupa antara lain:
a)    Metode mengajar guru;
b)    Cara guru mengelola kelas;
c)    Relasi guru dengan siswa;
d)    Disiplin sekolah; dan
e)    Alat-alat pelajaran/ perlengkapan sekolah.
3)   Faktor dari masyarakat
Ada beberapa hal yang mempengaruhi hasil belajar siswa dalam hubungannya dengan masyarakat, antara lain:
a)        Bentuk kehidupan masyarakat
Apabila orang-orang berada dalam masyarakat tidak terdiri, permabukan/ minum minuman keras, penjudi, pencuri dan lain-lain sebagainya, turut mempengaruhi siswa yang berada dalam masyarakat tersebut.
b)       Teman bergaul
Teman yang memberi efek negatif terhadap kegiatan belajarnya.
Selain dua faktor diatas, adapula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor yang di pandang sebagai faktor khusus ialah sindrom psikologis berupa ketidakmampuan belajar (learning disability).
3.      Factor-faktor yang mempengaruhi perilaku belajar
Secara fundamental Dollard dan Miller menegaskan bahwa keefektifan perilaku belajar itu dipengaruhi oleh empat hal, yaitu:
a.  Adanya motivasi, siswa harus menhendaki sesuatu
b. Adanya perhatian dan mengetahui sasaran, siswa harus memperhatikan sesuatu.
c.  Adanya usaha atau respon, siswa harus melakukan sesuatu
d.    Adanya evaluasi dan pemantapan hasil atau reinforcement, siswa harus memperoleh sesuatu.
Menurut Burton dalam Makmun (2003) definisi kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
a.       Lower group, adalah siswa yang dikatakan gagal apabila dalam batas waktu tertentu tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan minimal dalam pelajaran tertentu, seperti yang telah ditetapkan leh orang dewasa.
b.      Under archives, adalah siswa yang dikatakan gagal karena tidak dapat mencapai prestasi yang semestinya berdasarkan bakat intelegensinya.
c.       Slow learner, adalah siswa yang dikatakan gagal karena tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat selanjutnya, termasuk penyesuaian social sesuai dengan pola organismiknya pada fase perkembangan tertentu, seperti yang berlaku bagi kelompok social dan usia yang bersangkutan.





BAB III
METODE PENDALAMAN DAN PENENGANAN KASUS
A.    Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data bertujuan untuk memperoleh data yang obyektif dan valid mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan siswa, sehingga mampu mengarahkan pada penanganan kasus yang tepat. Adapun metode yang digunakan  dalam pemeriksaan adalah wawancara dan observasi
1.      Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan siswa, yang bersumber dari orang-orang yang penting yang berhubungan dengan siswa.
2.      Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati siswa berkaitan dengan sikap, perilaku, dan lingkungannya. Observasi yang dilakukan hanya dari penampilan siswa sehari-hari.







BAB IV
PEMBAHASAN
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap B seorang siswa kelas 5 SDN Selopuro II pada tanggal 28-30 November 2012 mendapatkan hasil sebagai berikut:
A.    Hasil Wawancara
1.      Anamnesa
a. Autonamnesa
1). Kegiatan Sehari-hari
B bangun pagi setiap pagi jam 05.30 dan dia selalu berangkat pagi pada  jam 06.00 hanya saja dia tidak pernah mandi, tetapi cukup dengan mencuci muka saja itu pun tidak memakai sabun.pulang sekolah sekitar jam 12.30, jika pulang biasanya sepatu dilepas ditaruh dalam tas, jika tidak dia gantungkan ke lehernya, terkadang berjalan kaki dan sepedanya dia tuntun. Tiba di rumah sepatu, tas dan pakaiannya dia taruh disembarang tempat. Setelah itu dia bermain sampai sore, entah bermain di rumah nenek yang berada tepat disamping rumahnya atau ke rumah teman-temannya.pulang sore untuk mandi setelah itu pergi main lagi.
Dia tidak pernah belajar, waktunya hanya dia habiskan untuk bermain.ketika malam pun dia tidak di rumah, dia hanya menonton TV di rumah neneknya, jika sudah merasa ngantuk baru dia akan pulang untuk tidur. Jika disuruh belajar dia hanya pura-pura belajar, mengambil buku untuk belajar di rumah nenek tapi yang dilakukan hanya bermain-main, mencoret-coret buku, merobek-robek, dsb. Yang jelas dia tidak pernah serius untuk belajar.
2). Riwayat Pendidikan
B masuk Sekolah Dasar  pada usua 6 tahun, dia tidak memasuki TK sebelumnya. Prestasi cenderung rendah di setiap pelajaran, materi yang dia kuasai hanya perkalian pada mata pelajajan matematika. Diawal masuk sekolah dia tidak mau mengikuti kegiatan pembelajaran, dia selalu keluar kelas.
3) Cara belajar
Dia tidak pernah belajar, jika disuruh orang tua hanya main-main. Tidak pernah mencatat pelajaran atau pekerjaan rumah (PR), sehingga PR pun tak pernah dia kerjakan. Jika mendapat hasil ujian kertasnya disobek-sobek atau dilecekin, dibuang. Buku tulis juga disobek, tidak dibawa pulang, dia tinggal di Sekolah dengan buku paketnya.
4) Konsep diri
B seorang anak yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap dirinya. Jika dimintai bantuan atau disuruh orangtua/nenek/tantenya selalu meminta upah, jika tidak maka tidak dikerjakan. Tetapi tidak jika yang meminta tolong adalah tetangganya. Dia lebih sering membantu orang lain daripada keluarganya sendiri di rumah.
5) Sikap terhadap keluarga
Tidak peduli dengan keluarga, karena waktu yang dia habiskan hanya untuk bermain.
6)Sikap terhadap sekolah
B selalu taat pada peraturan sekolah, hanya pada pelajaran saja yang dia tidak berantusias.
7) Sikap terhadap teman sebaya
Di sekolah kadang jahil kepada temannya, tetapi jika dibalas dia menangis. Perilaku selalu menunjukkan over acting.


2.      Alloamnesa
a). Mbak J (Tante B)
1). Latar belakang keluarga
B dilahirkan dari pasangan Suprayitno dan Ningsih. Bapaknya adalah seorang yang bekerja di proyek bangunan. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh anak dari majikan tempat Ia bekerja. Kedua orang tuanya hanya lulusan dari Sekolah Dasar (SD).
2). Pocla asuh dan interaksi dalam keluarga
Perhatian dari orang tua B di dalam mengasuh anaknya sangat kurang, begitu juga dengan komunikasi. Orang tuanya bekerja dari pagi hingga sore, di pagi harinya mereka hanya sekedar member uang saku. Ketika anak belajar tidak pernah dikontrol, dalam pendidikan agama mereka juga hanya sekedar memerintah untuk Sholat dan tidak pernah ditinjau  apakah anak benar-benar mengerjakan apa tidak.
3). Kebiasaan belajar dan peranan orang tua
B tidak pernah belajar ataupun mengerjakan tugas pekerjaan rumah (PR), bahkan menulis pelajaran atau PR pun tidak. Orang tua tidak pernah mengontrol, mereka tidak tahu mengenai sikap anak dalam belajar.
4). Pergaulan social
Hubungan B dengan teman-teman baik, B diterima oleh teman-temannya, mereka pun bermain bersama. Sikap terhadap orang-orang tua di lingkungan juga baik, nurut jika dimintai pertolongan meski tanpa diberi upah.
b). Wali Kelas ( Ibu SH)
Ibu SH melihat B sebagai anak yang tidak memiliki antusias terhadap pelajaran, dia sangat acuh khususnya ketika dalam suasana pembelajaran. Di dalam kelas dia sibuk dengan dirinya sendiri, dan terkadang mengganggu temannya. Tidak mau menulis pelajaran/PR, tapi jika disuruh maju mengerjakan soal dia mau terlepas apakah bisa mengerjakan atau tidak. Dlam ujian dia tidak pernah menyelesaikan semua soal. Nilai pun cenderung rendah, dan dia hanya mampu menguasai pelajaran Matematika itu pun pada perkaliannya saja.
B.     Observasi
B tergolong anak yang sehat, rambutnyalurus agak kecokelatan dengan potongan pendek di bawah telinga, tinggi badan ? dengan berat ?. Kulitnya sawo matang dan hidung agak pesek. Penampilannya terlihat kucel, lusuh, tidak rapi. Baju putih seragamnya terlihat kumal, tanpa seterika, dengan memakai kerudung yang berantakan, sepatu hitam dan kaos kakinya yang putih keduanya terlihat kotor.
C.    Pembahasan Kasus
Pada perkembangan fisik, B tidak mengalami hambatan. Fisiknya tumbuh dengan normal, tidak mengalami cacat mental ataupun fisikal. Di usia 10 tahun tinggi badannya mencapai 124 cm dengan berat baan 25 kg.
Pada perkembangan kognitif B masuk dalam tahap perkembangan ke 3 Piaget. Yang mana dalam tahap ini anak berada pada periode operasional konkrit. Pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda benda konkrit. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Dalam hal ini B tidak memiliki antusias sama sekali terhadap pelajaran. Dia tidak menyukai semua pelajaran yang membutuhkan nalar untuk berfikir, dan sebalikny, dia lebih senang pada pelajaran yang tidak memerlukan proses berfikir, yaitu olahraga.
Pada perkembangan social oleh Erickson, B termasuk dalam tahap perkembangan ke 4, yakni kerja keras versus imperior. Pada usia ini anak menjadi lebih antusias mengenai belajar dibandingkan dari akhir perode anak-anak awal. (Santrock:2007). Tetapi B tidak berhasil dengan baik melakukan tugas perkembangannya pada tahap ini, dia tidak memiliki antusias terhadap pelajaran. Dia gagal dalam mencapai keberhasilannya, bisa dikatakan B termasuk anak dengan kategori Lower Group. (Makmun:2007)
Kepribadian yang B miliki juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.Dalam perkembangan sosioemosional anak itu dipengaruhi oleh hubungan dengan orang tuanya. Setiap orang tua memiliki gaya sendiri dalam mendidik anak. Diane Baumrind mengidentifikasi tiga gaya dari orang tua, meliputi tingkat kontrol, kejelasan komunikasi, dan tuntutan orang tua kepada anak untuk menjadi matang (Wuryani:2002). Dalam hal tingkat control, oran tua B tidak memberikan control yang baik dalam pola belajarnya, komunikasi yang didapatkan juga sangat minim, waktu kebersamaan mereka hanya malam ketika tidur.
Sikap yang ditunjukkan B menunjukkan orientasi terhadap kepatuhan akan hukuman, anak patuh karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat, ini terjadi pada tahap Moralitas Prakonvensional tingkat pertama tahap pertama dalam perkembangan moral menurut Kohlberg, dimana mereka belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. B lebih menurut kepada tantenya daripada orang tuanya sendiri , karena tante B lebih bersikap tegas terhadap B. Selain itu, B harus mendapatkan penghargaan terlebuh dahulu  sebelum menyurunya mengerjakan sesuatu.


D.    Dinamika Psikologis
B merupakan anak tunggal dalam keluarganya, hubungan dengan orang tua baik-baik saja, hanya dalam hal komunikasi saja yang sangat kurang. Orang tua banyak memberi kebebasan terhadap B, bahkan cenderung membiarkan dan  tidak ada perhatian sama sekali sehingga B menjadi anak yang tidak disiplin terhadap waktu, waktu belajar, bermain atau pun waktu untuk beribadah. B termasuk anak yang perinag, ceria, percaya diri dan pemberani. Dia banyak bergaul dengan teman-temannya dan tetangganya.
E.     Diagnosis
Data yang terkumpul menunjukkan B mengalami perkembangan yang cukup dari segi fisikal, dia termasuk anak yang jarang sakit. Namun dalam perkembangan   kepribadian tidak berjalan dengan baik, dia tumbuh menjadi anak yang tidak mengerti akan tanggung jawab atas dirinya. Prestasi belajar sangat rendah, acuh terhadap pelajaran dan tidak menyukai semua pelajaran. Hanya satu yang dia sukai, yaitu pelajaran olahraga karena menurutnya tidak menuntutnya untuk berfikir. Kemampuan yang meninjol hanya pada perkalian di pelajaran Matematika. Sikap acuhnya terhadap pelajaran merupakan akibat dari pola asuh ke dua orang tuanya yang cenderung tidak perduli terhadap perkembangannya, tidak perhatian, tidak mengajarkan disiplin dan tidak mengenalkan tanggung jawab.
F.     Prognosis
Hambatan perkembangan B disebabkan oleh:
Faktor eksternal
Perkembangan sosioemosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga (orang tua). Pola asuh yang diberikan tidak mampu membentuk karakter yang baik terhadap anak. Perhatian orang tua sangat kurang, ketidak pedulian orang tua terhadap anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosioemosionalnya.
Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah anak adalah sebagai berikut:
1.      Orang tua memberikan perhatian lebih kepada anak, mengajarkan kedisiplinan serta mngenalkan tanggung jawa. Bisa dengan menggunakan metode hukuman dan penghargaan dalam mendidikna. Banyak memberikan waktu kebersamaan kepada anak, dan memberi komunikasi yang lebih.
2.      Guru memberikan perhatian khusus dan lebih sabar menghadapi anak. Guru bersikap tegas namun bukan keras. Guru lebih bisa memberikan motivasi-motivasi agar anak semangat dalam belajar.
G.    Treatment
Treatment yang diberikan pada B adalah memberikan perhatian khusus, pemberian motivasi, reward. Orang tua agar lebih banyak memberikan waktu dan perhatiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar