DIAGNOSA KESULITAN BELAJAR
Tidak Adanya Antusias Anak dalam Belajar
Di SDN SELOPURO II
SEKOLAH TINGGI ILMUTARBIYAH
ISLAMIYAH NGAWI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dunia pendidikan dalam kenyataannya
penuh dengan kompleksitas yang sangat kompleks, dalam memberikan pendidikan
kepada anak didik tidak semuanya susuai dengan rencana dan kemauan guru, ada
saja masalah yang dihadapi dari setiap individu peserta didik.
Pada
prinsipnya setiap siswa berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja
akademik yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa
siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik,
latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat
mencolok antara seorang siswa dengan siswa yang lainnya.
Sementara
itu penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah pada umumnya ditujukan kepada
siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau
yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang
berkategori “di luar rata-rata” itu tidak mendapat kesempatan yang memadai
untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa
yang disebut dengan kesulitan belajar (learning difficulty).
Kesulitan
belajar dapat pula dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) yang
disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya
kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
B. Tujuan Diagnosa Kesulitan Belajar
Diagnosa kesulitan belajar dilaksanakan
untuk mengetahui permasalahan yang dialami siswa, sehingga dapat membantu siswa
dalam mengoptimalkan potensinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
PERKEMBANGAN.
Menurut Slavin (1997) pula berpendapat perkembangan
adalah berkaitan dengan mengapa dan bagaimana individu berkembang dan membesar,
menyesuaikan diri kepada persekitaran dan berubah melalui peredaran masa.
Beliau berpendapat, individu akan mengalami perkembangan sepanjang hayat, yaitu
perkembangan dari segi fizikal, personaliti, sosioemosional dan kognitif serta
bahasa. Sedangkan Menurut Crow dan Crow (1980), perkembangan merupakan
perubahan secara ‘kualitatif’ serta cenderung ke arah yang lebih baik dari segi
pemikiran, rohani, moral dan sosial (Hand Out: Psikologi Perkembangan 2012).
Secara kronologis (menurut urutan waktu), masa
kanak-kanak (early childhood) adalah masa perkembangan dari usia 1 atau 2 tahun
hingga 5 atau 6 tahun. Perkembangan biologis pada masa-masa ini berjalan pesat,
tetapi secara sosiologis ia masih sangat terikat oleh lingkungan dan
keluarganya. Oleh karena itu , fungsionalisasi lingkungan keluarga pada fase
ini penting sekali untuk mempersiapkan anak terjun ke dalam lingkungan yang
lebih luas terutama lingkungan sekolah.
1. Perkembangan
Fisik.
Perkembangan fisik menggambarkan
perubahan dalam penampilan fisik anak-anak, sama seperti dalam keterampilan
motor mereka. Anak pada usia 8-9 tahun, terjadi koordinasi tubuh, ketahanan
tubuh bertambah, anak laki-laki cenderung aktifitas yang ada kontak fisik
seperti berkelahi dan bergulat. Koordinasi mata dan tangan lebih baik, sisitem
peredaran darah masih belum kuat, koordinasi oto dan syaraf masih kurang baik,
dari psikologi anak wanita maju 1 tahun dari anak laki-laki.
Anak-anak
bertambah 2,3 hingga 3,2 kg dan 2 atau 3 inchi pertahun, kemampuan kekuatan
mereka berlipat ganda karena besarnya jumlah sel-sel otot mereka. Perkembangan
menjadi lebih halus dan terkoordinasi. Anak-anak memperoleh kendali yang besar
atas tubuhnya, duduk dan mengikuti pembicaraan beberapa saat. Tetapi hidup
mereka harus berorientasi kegiatan dan sangat aktif. Membaiknya keterampilan
motorik halus utamanya perempuan dan keterampilan motorik kasar pada laki-laki.
(Santrock,2002).
2. Perkembangan
Kognitif
Pakar
psikologi Swiss terkenal yaitu Jean Piaget (1896-1980) dalam buku Life Span
Development: Perkembangan Masa Hidup, oleh John W. Santrok pada tahun 2002,
mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif
dunia kognitif mereka sendiri. Piaget yakin bahwa anak-anak menyesuaikan
pemikiran mereka untuk menguasai gagasan-gagasan baru, karena informasi
tambahan akan menambah pemahaman mereka terhadap dunia.
Dalam pandangan Piaget, terdapat dua
proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan
penyesuaian. Untuk membuat dunia kita diterima oleh pikiran, kita melakukan
pengorganisasian pengalaman-pengalaman yang telah terjadi. Piaget yakin bahwa
kita menyesuaikan diri dalam dua cara yaitu asimiliasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi ketika individu
menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada.
Sedangkan akomodasi adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan
informasi baru.
Piaget mengatakan bahwa kita melampui
perkembangan melalui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap
terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah
penjelasan lebih lanjut:
Tahap sensorimotor (Sensorimotor
stage), yang
terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada
tahap ini, perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam
kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti
melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.
Tahap praoperasional (preoperational
stage), yang
terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap kedua piaget, pada tahap
ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Mulai
muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah
suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan
perspektif oranglain dengan kata lain anak melihat sesuatu hanya dari sisi
dirinya.
Animisme adalah keyakinan bahwa obyek
yang tidak bergerak memiliki kualiatas semacam kehidupan dan dapat bertindak.
Seperti sorang anak yang mengatakan, “Pohon itu bergoyang-goyang mendorong
daunnya dan daunnya jatuh.” Sedangkan Intuitif adalah anak-anak mulai menggunakan
penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas semua bentuk pertanyaan.
Mereka mengatakan mengetahui sesuatu tetapi mengetahuinya tanpa menggunakan
pemikiran rasional.
Tahap operasional konkrit (concrete
operational stage), yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga
piaget. Pada tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis menggantikan
pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam cotoh-contoh yang
spesifik atau konkrit. Contohnya pemikir operasional konkrit tidak dapat
membayangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan soal persamaan
aljabar, yang terlalu agstrak bagi pemikiran pada tahap ini.
Tahap operasional formal (formal
operational stage), Anak pada tahap ini sudah
mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan
menggunakan logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak
mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwa
berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya
dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah
memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan
hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi.
3. Perkembangan
Moral
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg
menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan
berkaitan dengan usia. Pada masa usia 4-10 tahun anak cenderung pada tahap
tingkat satu yaitu prakonvensional.Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional,
dimana mereka belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada
tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah
penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena
orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat
memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak
menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan
tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari
hukuman.
Tahap
2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang
bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan
sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
4.
Perkembangan social
Kerja keras versus rasa inferior
adalah tahap perkembangan erikson yang ke empat, terjadi sekitar tahun sekolah
dasar. Inisiatif anak membawa mereka berhubungan dengan banyak pengalaman baru.
Saat mereka berpindah ke masa kanak-kanak tengah dan akhir, mereka mengarahkan
energi mereka menuju penguasaan dan keterampilan intelektual. Diwaktu yang sama
pula anak menjadi lebih antusias mengenai belajar dibandingkan dengan akhir
periode kanak-kanak awal yang penuh imajinasi. Kemungkinan lain dalam tahun
sekolah dasar adalah bahwa anak dapat memunculkan rasa inferior-merasa tidak
kompeten dan tidak produktif. Erikson percaya bahwa guru memiliki tanggung
jawab khusus bagi perkembangan keaktifan anak. Guru harus dengan lembut tetapi
tegas mengajak anak ke dalam petualangan menemukan bahwa seseorang dapat
belajar mencapai sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
(santrock, 2007, hlm 47)
5. Perkembangan
Sosioemosional
Perkembangan
social pada masa kanak-kanak tumbuuh dari hubungan yang erat mereka dengan
orang tua atau pengaruh-pengaruh lain, termasuk anggota keluarga. Interaksi
social diperluas dari rumah ke tetangga, dan dari taman kanak-kanak ke sekolah
dasar.
Orang tua
selalu memiliki pengaruh yang paling kuat pada anak-anak. Setiap orangtua
mempunyai gaya tersendiri dalam hubungan sengan anak-anaknya, dan ini
berpengaruh terhadap perkembangan social anak-anak. Diane Baumrind (1983)
meneliti gaya atau corak orangtuaa dalam mendidik anak-anaknya. Dia
mengidentifikasi tiga tipe gaya orang tua yang bervarisaai, meliputi control
orangtua terhadap anak, kejelasan komunikasi orangtua dengan anak, dan tuntutan
orangtua kepada anak untuk menjasi matang.
PERMASALAHAN BELAJAR
1. Pengertian
Belajar
Belajar adalah
perubahan yang relatif permanen dalam perilaku
atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang
diperkuat.
Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon.
Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
(Wikipedia.org)
Belajar merupakan
perkayaan materi pengetahuan ( material dan atau perkayaan pola-pola sambutan
(respon) perilaku baru (behavior). Pendapat ini dikemukakan oleh penganut paham
ilmmu jiwa asosiasi yang dipelopori oleh John Locke (Inggris) dan Herbart
(Swiss(. Seperti kita maklumi, paham itu berasumsi bahwa pada saat kelahirannya
jiwa manusia laksana tabula rasa (bersih
tanpa noda) atau laksana beja agar dapat berfungsi. na kosong yang masih
harus diisi agar dapat berfungsi. Oleh karena itu dalam kontek ini belajar
dapat diartikan sebagai suatu proses pengisian jiwa dengan pengetahuan dan
pengalaman yang sebanyak-banyaknya dengan melalui hapalan. Pelajar tidak selalu
seperti apa yang dihapalkannya. Yang penting diperolehnya tanggapan dan
pengalaman sebanyak mungkin. Yang nantinya akan berfungsi sendirinya dengan
melalui hukum-hukum asosiasi.
2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesulitan belajar.
Fenomena belajar siswa
biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya
(hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang siswa setelah melakukan
kegiatan belajar dalam suatu bidang studi tertentu dengan menggunakan tes
belajar). Namun, kesulitan belajar juga dapat dilihat dari munculnya kelainan
perilaku (misbehavior).
Faktor-faktor penyebab
timbulnya kesulitan belajar yang mempengaruhi hasil belajar siswa terdiri atas
dua macam, yakni :
a. Faktor
Intern
Faktor intern maksudnya
adalah faktor dari dalam diri siswa yang mempengaruhi hasil belajarnya, seperti
faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan. Faktor jasmaniah
meliputi: kesehatan, cacat tubuh/badan seperti tuli, buta, lumpuh, dan
sebagainya. Faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat,
motif, sikap, kematangan dan kesiapan. Faktor kelelahan, dapat dibedakan atas:
1)
Kelelahan jasmani, ditandai dengan lemah
lunglainya tubuh mengakibatkan timbulnya kecenderungan untuk membaringkan tubuh
2)
Kelelahan rohani, ditandai dengan adanya
kelesuan, kebosanan, sehingga minat dan dorongan untuk berajar menjadi kurang
atau hilang.
b. Faktor
Ekstern
Faktor Eksternal
dimaksudkan adalah faktor dari luar diri siswa yang berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa, yang dapat menimbulkan kesulitan belajar, dapat dikelompokan
atas tiga faktor yaitu:
1)
Faktor dari lingkungan keluarga, dapat
berupa;
a) Cara orang tua mendidik;
b) Relasi/ ahubungan antara anggota keluarga;
c) Suasana
dalam rumah tangga;
d) Kebudayaan
atau kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam rumah tangga;
e) Perhatian
orang tua/ wali; dan
f) Keadaan sosial-ekonomi
orang tua termasuk tingkat pendidikan orang tua/wali.
2) Faktor dari
sekolah, dapat berupa antara lain:
a)
Metode mengajar guru;
b)
Cara guru mengelola kelas;
c)
Relasi guru dengan siswa;
d)
Disiplin sekolah; dan
e)
Alat-alat pelajaran/ perlengkapan sekolah.
3) Faktor
dari masyarakat
Ada beberapa hal yang
mempengaruhi hasil belajar siswa dalam hubungannya dengan masyarakat, antara
lain:
a)
Bentuk kehidupan masyarakat
Apabila orang-orang
berada dalam masyarakat tidak terdiri, permabukan/ minum minuman keras,
penjudi, pencuri dan lain-lain sebagainya, turut mempengaruhi siswa yang berada
dalam masyarakat tersebut.
b) Teman
bergaul
Teman yang memberi efek
negatif terhadap kegiatan belajarnya.
Selain
dua faktor diatas, adapula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan
belajar siswa. Diantara faktor-faktor yang di pandang sebagai faktor khusus
ialah sindrom psikologis berupa ketidakmampuan belajar (learning disability).
3. Factor-faktor
yang mempengaruhi perilaku belajar
Secara
fundamental Dollard dan Miller menegaskan bahwa keefektifan perilaku belajar
itu dipengaruhi oleh empat hal, yaitu:
a. Adanya motivasi, siswa harus menhendaki
sesuatu
b. Adanya perhatian dan
mengetahui sasaran, siswa harus memperhatikan sesuatu.
c. Adanya usaha atau respon, siswa harus
melakukan sesuatu
d. Adanya evaluasi dan pemantapan hasil atau
reinforcement, siswa harus memperoleh sesuatu.
Menurut
Burton dalam Makmun (2003) definisi
kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
a.
Lower group, adalah siswa yang dikatakan
gagal apabila dalam batas waktu tertentu tidak mencapai ukuran tingkat
keberhasilan atau tingkat penguasaan minimal dalam pelajaran tertentu, seperti
yang telah ditetapkan leh orang dewasa.
b.
Under archives, adalah siswa yang
dikatakan gagal karena tidak dapat mencapai prestasi yang semestinya
berdasarkan bakat intelegensinya.
c.
Slow learner, adalah siswa yang
dikatakan gagal karena tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan yang
diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat selanjutnya, termasuk
penyesuaian social sesuai dengan pola organismiknya pada fase perkembangan
tertentu, seperti yang berlaku bagi kelompok social dan usia yang bersangkutan.
BAB III
METODE
PENDALAMAN DAN PENENGANAN KASUS
A. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan
data bertujuan untuk memperoleh data yang obyektif dan valid mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan permasalahan siswa, sehingga mampu mengarahkan pada
penanganan kasus yang tepat. Adapun metode yang digunakan dalam pemeriksaan adalah wawancara dan
observasi
1. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh
informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan siswa, yang bersumber
dari orang-orang yang penting yang berhubungan dengan siswa.
2. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati siswa berkaitan
dengan sikap, perilaku, dan lingkungannya. Observasi yang dilakukan hanya dari
penampilan siswa sehari-hari.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pemeriksaan
yang dilakukan terhadap B seorang siswa kelas 5 SDN Selopuro II pada tanggal
28-30 November 2012 mendapatkan hasil sebagai berikut:
A.
Hasil
Wawancara
1. Anamnesa
a. Autonamnesa
1). Kegiatan Sehari-hari
B
bangun pagi setiap pagi jam 05.30 dan dia selalu berangkat pagi pada jam 06.00 hanya saja dia tidak pernah mandi, tetapi
cukup dengan mencuci muka saja itu pun tidak memakai sabun.pulang sekolah
sekitar jam 12.30, jika pulang biasanya sepatu dilepas ditaruh dalam tas, jika
tidak dia gantungkan ke lehernya, terkadang berjalan kaki dan sepedanya dia
tuntun. Tiba di rumah sepatu, tas dan pakaiannya dia taruh disembarang tempat.
Setelah itu dia bermain sampai sore, entah bermain di rumah nenek yang berada tepat
disamping rumahnya atau ke rumah teman-temannya.pulang sore untuk mandi setelah
itu pergi main lagi.
Dia
tidak pernah belajar, waktunya hanya dia habiskan untuk bermain.ketika malam
pun dia tidak di rumah, dia hanya menonton TV di rumah neneknya, jika sudah
merasa ngantuk baru dia akan pulang untuk tidur. Jika disuruh belajar dia hanya
pura-pura belajar, mengambil buku untuk belajar di rumah nenek tapi yang
dilakukan hanya bermain-main, mencoret-coret buku, merobek-robek, dsb. Yang
jelas dia tidak pernah serius untuk belajar.
2). Riwayat Pendidikan
B
masuk Sekolah Dasar pada usua 6 tahun,
dia tidak memasuki TK sebelumnya. Prestasi cenderung rendah di setiap
pelajaran, materi yang dia kuasai hanya perkalian pada mata pelajajan
matematika. Diawal masuk sekolah dia tidak mau mengikuti kegiatan pembelajaran,
dia selalu keluar kelas.
3) Cara belajar
Dia
tidak pernah belajar, jika disuruh orang tua hanya main-main. Tidak pernah
mencatat pelajaran atau pekerjaan rumah (PR), sehingga PR pun tak pernah dia
kerjakan. Jika mendapat hasil ujian kertasnya disobek-sobek atau dilecekin,
dibuang. Buku tulis juga disobek, tidak dibawa pulang, dia tinggal di Sekolah
dengan buku paketnya.
4) Konsep diri
B
seorang anak yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap dirinya. Jika dimintai
bantuan atau disuruh orangtua/nenek/tantenya selalu meminta upah, jika tidak
maka tidak dikerjakan. Tetapi tidak jika yang meminta tolong adalah
tetangganya. Dia lebih sering membantu orang lain daripada keluarganya sendiri
di rumah.
5) Sikap terhadap
keluarga
Tidak
peduli dengan keluarga, karena waktu yang dia habiskan hanya untuk bermain.
6)Sikap terhadap
sekolah
B
selalu taat pada peraturan sekolah, hanya pada pelajaran saja yang dia tidak
berantusias.
7) Sikap terhadap teman
sebaya
Di
sekolah kadang jahil kepada temannya, tetapi jika dibalas dia menangis.
Perilaku selalu menunjukkan over acting.
2. Alloamnesa
a). Mbak J (Tante B)
1). Latar belakang
keluarga
B
dilahirkan dari pasangan Suprayitno dan Ningsih. Bapaknya adalah seorang yang
bekerja di proyek bangunan. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga
sekaligus pengasuh anak dari majikan tempat Ia bekerja. Kedua orang tuanya
hanya lulusan dari Sekolah Dasar (SD).
2). Pocla asuh dan
interaksi dalam keluarga
Perhatian
dari orang tua B di dalam mengasuh anaknya sangat kurang, begitu juga dengan
komunikasi. Orang tuanya bekerja dari pagi hingga sore, di pagi harinya mereka
hanya sekedar member uang saku. Ketika anak belajar tidak pernah dikontrol,
dalam pendidikan agama mereka juga hanya sekedar memerintah untuk Sholat dan
tidak pernah ditinjau apakah anak
benar-benar mengerjakan apa tidak.
3). Kebiasaan belajar
dan peranan orang tua
B
tidak pernah belajar ataupun mengerjakan tugas pekerjaan rumah (PR), bahkan menulis
pelajaran atau PR pun tidak. Orang tua tidak pernah mengontrol, mereka tidak
tahu mengenai sikap anak dalam belajar.
4). Pergaulan social
Hubungan
B dengan teman-teman baik, B diterima oleh teman-temannya, mereka pun bermain
bersama. Sikap terhadap orang-orang tua di lingkungan juga baik, nurut jika
dimintai pertolongan meski tanpa diberi upah.
b). Wali Kelas ( Ibu
SH)
Ibu
SH melihat B sebagai anak yang tidak memiliki antusias terhadap pelajaran, dia
sangat acuh khususnya ketika dalam suasana pembelajaran. Di dalam kelas dia
sibuk dengan dirinya sendiri, dan terkadang mengganggu temannya. Tidak mau
menulis pelajaran/PR, tapi jika disuruh maju mengerjakan soal dia mau terlepas
apakah bisa mengerjakan atau tidak. Dlam ujian dia tidak pernah menyelesaikan
semua soal. Nilai pun cenderung rendah, dan dia hanya mampu menguasai pelajaran
Matematika itu pun pada perkaliannya saja.
B.
Observasi
B tergolong anak yang sehat, rambutnyalurus agak
kecokelatan dengan potongan pendek di bawah telinga, tinggi badan ? dengan
berat ?. Kulitnya sawo matang dan hidung agak pesek. Penampilannya terlihat
kucel, lusuh, tidak rapi. Baju putih seragamnya terlihat kumal, tanpa seterika,
dengan memakai kerudung yang berantakan, sepatu hitam dan kaos kakinya yang
putih keduanya terlihat kotor.
C.
Pembahasan
Kasus
Pada perkembangan fisik, B tidak mengalami hambatan.
Fisiknya tumbuh dengan normal, tidak mengalami cacat mental ataupun fisikal. Di
usia 10 tahun tinggi badannya mencapai 124 cm dengan berat baan 25 kg.
Pada perkembangan kognitif B masuk dalam tahap
perkembangan ke 3 Piaget. Yang mana dalam tahap ini anak berada pada periode
operasional konkrit. Pada umumnya
anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda
benda konkrit. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan
pemikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu
disebut tahap operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka,
anak-anak pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas
logika. Dalam hal ini B tidak memiliki antusias sama sekali terhadap pelajaran.
Dia tidak menyukai semua pelajaran yang membutuhkan nalar untuk berfikir, dan
sebalikny, dia lebih senang pada pelajaran yang tidak memerlukan proses
berfikir, yaitu olahraga.
Pada perkembangan social oleh Erickson, B termasuk
dalam tahap perkembangan ke 4, yakni kerja keras versus imperior. Pada usia ini
anak menjadi lebih antusias mengenai belajar dibandingkan dari akhir perode
anak-anak awal. (Santrock:2007). Tetapi B tidak berhasil dengan baik melakukan
tugas perkembangannya pada tahap ini, dia tidak memiliki antusias terhadap
pelajaran. Dia gagal dalam mencapai keberhasilannya, bisa dikatakan B termasuk
anak dengan kategori Lower Group. (Makmun:2007)
Kepribadian yang B miliki juga banyak dipengaruhi
oleh lingkungan keluarga.Dalam perkembangan sosioemosional anak itu dipengaruhi
oleh hubungan dengan orang tuanya. Setiap orang tua memiliki gaya sendiri dalam
mendidik anak. Diane Baumrind mengidentifikasi tiga gaya dari orang tua,
meliputi tingkat kontrol, kejelasan komunikasi, dan tuntutan orang tua kepada
anak untuk menjadi matang (Wuryani:2002). Dalam hal tingkat control, oran tua B
tidak memberikan control yang baik dalam pola belajarnya, komunikasi yang
didapatkan juga sangat minim, waktu kebersamaan mereka hanya malam ketika
tidur.
Sikap yang ditunjukkan B menunjukkan orientasi
terhadap kepatuhan akan hukuman, anak patuh karena orang-orang dewasa menuntut
mereka untuk taat, ini terjadi pada tahap Moralitas Prakonvensional tingkat
pertama tahap pertama dalam perkembangan moral menurut Kohlberg, dimana mereka
belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. B lebih menurut
kepada tantenya daripada orang tuanya sendiri , karena tante B lebih bersikap
tegas terhadap B. Selain itu, B harus mendapatkan penghargaan terlebuh
dahulu sebelum menyurunya mengerjakan
sesuatu.
D.
Dinamika
Psikologis
B merupakan anak tunggal dalam keluarganya, hubungan
dengan orang tua baik-baik saja, hanya dalam hal komunikasi saja yang sangat
kurang. Orang tua banyak memberi kebebasan terhadap B, bahkan cenderung membiarkan
dan tidak ada perhatian sama sekali
sehingga B menjadi anak yang tidak disiplin terhadap waktu, waktu belajar,
bermain atau pun waktu untuk beribadah. B termasuk anak yang perinag, ceria,
percaya diri dan pemberani. Dia banyak bergaul dengan teman-temannya dan
tetangganya.
E.
Diagnosis
Data yang terkumpul menunjukkan B mengalami
perkembangan yang cukup dari segi fisikal, dia termasuk anak yang jarang sakit.
Namun dalam perkembangan kepribadian
tidak berjalan dengan baik, dia tumbuh menjadi anak yang tidak mengerti akan
tanggung jawab atas dirinya. Prestasi belajar sangat rendah, acuh terhadap
pelajaran dan tidak menyukai semua pelajaran. Hanya satu yang dia sukai, yaitu
pelajaran olahraga karena menurutnya tidak menuntutnya untuk berfikir. Kemampuan
yang meninjol hanya pada perkalian di pelajaran Matematika. Sikap acuhnya
terhadap pelajaran merupakan akibat dari pola asuh ke dua orang tuanya yang
cenderung tidak perduli terhadap perkembangannya, tidak perhatian, tidak
mengajarkan disiplin dan tidak mengenalkan tanggung jawab.
F.
Prognosis
Hambatan
perkembangan B disebabkan oleh:
Faktor
eksternal
Perkembangan sosioemosional sangat dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga (orang tua). Pola asuh yang diberikan tidak mampu membentuk
karakter yang baik terhadap anak. Perhatian orang tua sangat kurang, ketidak
pedulian orang tua terhadap anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan
sosioemosionalnya.
Hal
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah anak adalah sebagai berikut:
1. Orang
tua memberikan perhatian lebih kepada anak, mengajarkan kedisiplinan serta
mngenalkan tanggung jawa. Bisa dengan menggunakan metode hukuman dan
penghargaan dalam mendidikna. Banyak memberikan waktu kebersamaan kepada anak,
dan memberi komunikasi yang lebih.
2. Guru
memberikan perhatian khusus dan lebih sabar menghadapi anak. Guru bersikap
tegas namun bukan keras. Guru lebih bisa memberikan motivasi-motivasi agar anak
semangat dalam belajar.
G.
Treatment
Treatment yang
diberikan pada B adalah memberikan perhatian khusus, pemberian motivasi,
reward. Orang tua agar lebih banyak memberikan waktu dan perhatiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar